ceritaku

End of Cold War : Ibu bekerja vs Ibu Rumah Tangga

Pergunjingan itu tak hentinya mereda, saat seorang ibu rumah tangga berkata, “kasihan anak itu, ibu-nya bekerja seharian, pasti si anak kurang perhatian”, sementara di sisi seberang, ibu bekerja berkomentar tak kalah pedas ” sedih sekali menjadi ibu rumah tangga anu, terjebak dengan urusan anak tak henti-henti.. tak bisa bergaul dan mengembangkan karir”.. .. untungnya saling serang komentar itu hanya berlangsung dalam hati dan pikiran pribadi saya..

saat memutuskan untuk memiliki anak, saya belum menyadari sepenuhnya tentang status yang akan saya sandang sebagai ibu bekerja. mendekati akhir masa cuti melahirkan, kegelisahan kembali melanda tentang pengawasan putra kecil saya, tentang kecukupan ASIP saya , tentang tumbuh kembang anak saya selama saya bekerja, dan pikiran lain yang mengganggu..

fenomena menjadi ibu bekerja seperti yang saya alami, bukan lagi hal yang aneh pada era kesetaraan gender didengung-dengungkan. bahkan, menjadi ibu rumah tangga saat ini tidak menjadi pilihan banyak wanita yang juga seorang ibu. akan tetapi, hati kecil saya tetap berpendapat lain meskipun saya sendiri ibu bekerja. ibu adalah sumber pendidikan utama dan pertama bagi putra-putrinya.. (ummi madrasatul ulla) .. itulah hal yang pasti dan tak mungkin berubah seiring dengan zaman..

tentu ada berbagai macam alasan yang mendasari pilihan setiap wanita untuk menjadi ibu bekerja ataupun ibu rumah tangga. namun yang jelas perang dingin dan gunjingan diantaranya harus sudah diakhiri. justru akan lebih baik , apabila kita sesama ibu saling berlomba-lomba menjadi ibu yang membanggakan bagi putra-putrinya, karena bagaimanapun caranya setiap ibu pasti menyayangi dan mengasihi anaknya dengan cara dan pilihan masing-masing..

^-^ Semoga bermanfaat bagi para ibu bekerja dan ibu rumah tangga sedunia yang mungkin sedang galau akan statusnya….